terserah

Jumat, 01 Juni 2012

CARA MENULIS BERITA

CARA MENULIS BERITA
ADALAH wajar, jika setiap kali menghadapi berita yang dianggap kurang memadai dari sudut penyajiannya, publik mengeluh bahkan kemudian
memprotes. Bukan hanya wajar, hal itu bahkan merupakan hak publik. Sebab, bukankah pers juga tidak can do no wrong? Dan ujung-ujungnya
orang menuding pers, dalam hal ini wartawan, tidak profesional – dalam pengertian tidak menguasai teknik jurnalisme yang baku, bahkan tidak memahami kode etik pers.
     Kritik seperti itu -- yang baru-baru ini juga sempat
dilontarkan oleh Presiden (ketika itu) Megawati yang menuduh (sebagian) pemberitaan pers njomplang (tidak cover both side), ruwet, njlimet (tidak proporsional dan logis) – juga wajar, sebagai konsekwensi dari tatanan hidup yang demokratis dan terbuka. Kalangan pers tak perlu merasa “kebakaran jenggot”, tapi sebaliknya harus mawas diri,
introspeksi. Kritik semacam itu tak membahayakan kebebasan pers.
    Apalagi harus diakui, kebebasan pers – yang marak sebagai konsekwensi dari euphoria gerakan reformasi – ternyata juga telah menimbulkan
euphoria tersendiri di kalangan industri pers. Kini setiap orang bebas menerbitkan media – tanpa harus perlu meminta izin kepada pemerintah. Sungguh, kebebasan pers yang belum pernah terjadi sejak
republik ini diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Tapi, ternyata kalangan pers sendiri juga kurang profesional.
    Dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik, juga dalam in-house training yang digelar perusahaan-perusahaan pers, yang diajarkan biasanya
teknik menulis, teknik wawancara. Tapi, hal-hal yang paling mendasar dalam kerja jurnalisme, seperti idealisme seorang jurnalis, apa dan bagaimana jurnalisme, apa itu code of conduct, code of ethics,
(hampir) tak pernah dibahas, didiskusikan. Kalaupun teknik menulis diajarkan, biasanya kurang memadai.
    Pelatihan seperti itu tentu saja tak mungkin melahirkan wartawan-wartawan profesional. Kalaupun saat ini ada (sedikit) wartawan yang
profesional – dalam pengertian memiliki idealisme sebagai seorang jurnalis, memiliki komitmen terhadap kerja jurnalisme – biasanya lantaran ia memang merasa “terpanggil”, merasa bahwa jurnalisme merupakan “pangilan hidup”. Wartawan seperti itu biasanya lahir dari “kancah alami”, belajar sendiri.
    Bagaimana mempersiapkan diri sebagai wartawan profesional? Seperti telah disebut, seorang wartawan harus memahami jatidiri jurnalisme, kode etik, dan tentu juga teknik-teknik jurnalisme yang paling elementer. Ia tak puas hanya menulis straight news, atau features pendek, tapi ia “terpanggil” menulis investigative reporting, yang
di Indonesia tergolong langka itu.

SEBUAH berita bisa disajikan secara menarik karena memang muatannya menarik. Atau karena teknik penyajiannya memikat. Ketertarikan pembaca terhadap suatu berita juga didorong oleh naluri keinginan tahu (sense of curiousity). Dalam menjalankan tugas profesinya, wartawan yang baik sesungguhnya juga memiliki naluri curiousity yang
tajam, dengan daya-endus-berita (sense of news, nose of news) yang cukup peka. Tanpa naluri-naluri tersebut, ia tidak akan memperoleh bahan berita yang menarik untuk ditulis.
    Wartawan yang baik tidak akan puas hanya mendapatkan bahan berita yang biasa-biasa saja, yang hanya bisa ditulis berupa straight news
atau feature pendek yang kering. Ia selalu “menderita” karena penasaran, berusaha memburu, menggali, mengumpulkan bahan informasi
sebanyak-banyaknya. Sebuah kasus yang semula diberitakan secara biasa-biasa saja, berkat daya-endus-berita yang tajam dari wartawan yang
berpengalaman, bisa menjadi berita menarik. Berita itu tak hanya menceritakan peristiwa yang terjadi di permukaan, melainkan juga mengungkapkan how dan why dari suatu kasus secara sangat lengkap.
    Berita atau laporan semacam itu bisa menjadi sebuah karya jurnalistik yang disebut investigative reporting, jurnalisme investigasi, “laporan penyelidikan”. Bukan saja karena magnitude kasusnya biasanya tergolong besar, mungkin kejadiannya dramatis dan rumit, sementara proses perburuan bahan berita yang dilakukan si wartawan juga sangat kompleks. Ia mengumpulkan bahan sebanyak-banyaknya, baik berupa dokumen tertulis atau bahan riset kepustakaan, maupun puluhan bahkan mungkin ratusan, lembar transkrip hasil wawancara dengan sejumlah narasumber dari berbagai tempat.
    Proses perburuan bahan berita untuk menulis laporan investigasi semacam itu memerlukan waktu yang cukup lama, bisa berbulan-bulan, dan sudah tentu dengan dukungan dana yang tidak sedikit. Sang
wartawan harus mampu “menjahit” cerita yang ia pungut dari berbagai dokumen, sejumlah kliping, bahan bacaan lain, berbagai wawancara. Ia tak sekedar melakukan wawancara lalu menuliskannya, melainkan juga harus merenungkan, merekonstruksi, menganalisa, menyimpulkan. Kerja yang sungguh melelahkan!
    Jika jerih payah itu membuahkan karya yang “lain dari pada yang lain”, merupakan satu-satunya karya jurnalistik yang belum pernah dikerjakan oleh wartawan lain, bahkan berhasil pula menemukan fakta-fakta baru dari sebuah kasus yang selama ini menjadi buah bibir publik, maka karya jurnalistik semacam itu bukan saja merupakan laporan investigasi melainkan juga sebuah karya yang eksklusif. Sebuah karya jurnalistik yang niscaya sangat memikat jika ditulis dengan gaya bahasa Indonesia yang bagus dan memikat pula. Untuk bisa menulis dengan gaya bahasa yang menarik minat baca memang diperlukan pengalaman yang panjang.
    Memang, hanya wartawan yang matang, profesional dan memiliki integritas, serta komit terhadap profesinya, dan memiliki “jam terbang” yang tinggilah -- yang mampu menulis sebuah laporan investigasi yang menarik. Seorang wartawan pemula bukan tak bisa menulis karya jurnalistik seperti itu, akan tetapi ia harus terlebih dahulu bersedia belajar dengan tekun, bekerja keras, meyakini profesi wartawan sebagai panggilan hidup, sementara integritas dan komitmennya harus pula teruji. Laporan investigasi merupakan puncak
karya jurnalisme seorang wartawan profesional.
    Bagaimana agar seorang wartawan mampu menghasilkan karya jurnalisme yang bermutu? Ia harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama-tama, ia haruslah seorang wartawan profesional. Untuk bisa menjadi seorang wartawan profesional diperlukan pribadi yang matang, pengalaman yang
panjang, “jam terbang” yang tinggi, dan komit terhadap profesi. Dalam hal ini, seorang wartawan profesional seharsnya sudah dengan sendirinya mampu dan mahir menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
    Ia tak jemu memburu bahan berita, kapan dan di manapun ia harus mengendus, menelisik atau membongkarya. Ia bahkan semakin penasaran,
meski harus melakukannya selama berbulan-bulan. Ia tak kenal lelah mengumpulkan bahan berita sebanyak-banyaknya, melakukan riset kepustakaan, mengumpulkan kliping berbagai media, membaca bertumpuk transkrip hasil wawancara dengan banyak narasumber. Ia tak segan-segan melakukan check and recheck terhadap semua bahan informasi. Ia
merenungkan, menganalisis, merekonstruksi, menyimpulkan rangkaian beberapa fakta dan peristiwa.
    Ia juga harus mampu memilah mana tokoh sentral, tokoh kunci, tokoh tak terlalu penting; bisa membedakan antara tokoh protagonis dan antagonis; mana fakta dan peristiwa atau “adegan” yang menentukan jalannya cerita; mana bahan pendukung, mana bahan yang tak terlalu diperlukan dan karena itu bisa dibuang. Semua itu akan sangat berguna ketika ia harus menyusun kerangka cerita (outline). Sebuah outline sangat diperlukan sebelum seorang wartawan mulai menulis, agar plot alias alur ceritanya logis dan enak dibaca.
    Dalam menulis outline ada dua pilihan. Pertama, kerangka cerita ditulis secara kronologis. Ini lebih mudah, tetapi biasanya kurang menarik. Kedua, menceritakan terlebih dulu peristiwa yang menarik
atau dramatis pada lead-nya, dirangkai dengan peristiwa atau perilaku sang tokoh yang paling aktual, lalu pengungkapan profilnya, disusul
kejadian-kejadian yang melibatkan sang tokoh berikutnya. Ketiga, supaya lebih menarik, laporan diakhiri dengan ending yang memikat. Mungkin peristiwa tragis, atau bahagia, kejadian yang penuh hikmah, atau sekedar adegan kocak.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar